Jumat, 25 November 2011

Salah

 

Rintik-rintik hujan
mengalir bebas tak beralasan
pohon menyibakkan dedaunan
sayap burung kebasahan
tikus-tikus diteduhkan selokan
 
Tak sekali pun kugubris
kubiarkan air langit itu mengalir
menelusupi tiap beluk tubuhku
berharap mengalir bersama dosaku 

Kurasakan ...
angin galak mulai memarahiku
mengusap telinga tuli ini kasar
menyalahkan diriku atas segalanya

Kurasakan ...
Nadiku bernyanyi membentuk melodi
berisi simfoni-simfoni parodi
hidupku palsu jika abadi
sementara ruh tak menjadi

Apakah hari-hariku,
semua adalah dosa?
Sehingga Nirwana tak dapat kusentuh
Bahkan, mencium baunya saja
hanya sebuah mimpi untukku
Neraka kah yang jadi singgahsanaku?
Tak dapatkah aku bernegosiasi?

Aku berteriak kehabisan suara
tak terdengar namun lara
hujan tak buatku sengsara
diri ini yang jadikanku sengsara
  
Salahkah jika aku terlalu bodoh?
Salahkah jika aku seorang pencandu?
Salahkah jika aku tak pernah mengenal-Nya?
Kalau begitu lahirkan aku lagi
agar aku dapat perbaiki

Aku jua anak adam dan hawa
tapi terasa seperti kotoran tawa
Aku bukan manusia bagi mereka

Aku bertanya kepada-Mu?
Bolehkah aku bertemu-Mu?
agar makian ini berakhir bertamu
agar aku dapat mengenal-Mu lagi
sebagai Tuhanku
 




Terima kasih sudah datang ! Mohon maaf jika ada yang kurang berkenan, tolong tinggalkan komentar ya ! Terima Kasih sekali lagi !

Sabtu, 05 November 2011

Selamat Ulang Tahun yang ke-14, Nana :D


Alhamdulillah Nana masih diberi Allah untuk menikmati umur Nana yang baru saja menginjak 14 tahun hari ini ! Senang banget ... Selamat Ulang tahun Nana! Wish you all the best.. you grow up so fast... and now you are must work hard for your national exam... don't give up.. every people wish you and also hope you will get a good score...
Semoga Nana slalu diberikan yang terbaik dari Allah SWT. Jangan pernah menyerah ya,Nana! Pandai-pandai bersyukur karena masih banyak orang yang tak pandai bersyukur tentang kehidupannya.

Pokoknya WISH YOU ALL THE BEST,,..

Terima kasih sudah datang ! Mohon maaf jika ada yang kurang berkenan, tolong tinggalkan komentar ya ! Terima Kasih sekali lagi !

My short story :D


MAAF
Tuhan,
Inikah malaikat yang kau ceritakan padaku?
Saat aku masih bisa bercengkerama denganMu di Nirwana?
Kau benar, ia makhluk ciptaanMu yang indah
Aku tak tahu Kau bentuk hatinya dari apa
Apakah dari permata Eden?
Kenapa begitu menyamankanku berada di dekatnya?

Seorang malaikat mungil dikirimkan Tuhan ke dunia. Makhluk tak berlumur dosa itu menangis. Mungkin karna ia tak akan melihat Tuhannya lagi di dunia. Ibunya tersenyum getir melihat tubuh mungil bayinya tak berhenti menggeliat. Lelah. Itulah yang dirasakan ibu baru itu.
Malaikat mungilnya begitu sempurna, kesepuluh jarinya meraba-raba mencari sang malaikat penjaga. Ibu. Disambutnya anak kesayangannya dengan lembut. Membelainya penuh kasih sayang. Tapi ia bersedih saat ia menyadari, ia bersalah karena berani mengundang malaikat mungilnya itu turun ke bumi. Ia termenung sambil memerhatikan lekuk tubuh bayinya. “Dunia ini kejam, mungkinkah kau kan bertahan? Anakku sayang, jangan pernah tinggalkan Ibumu ini! Seberapa pun besar badai menerjang, jangan pernah lepaskan tangan sucimu ini dari Ibu. Ibu akan meminta Tuhan menjaga kita!” pikirnya dalam hati. Sementara, buah hatinya perlahan mulai terlelap dalam dunia mimpi, berharap berjumpa dengan Sang Khalik. Memberitahukan-Nya kalau ia sudah bertemu malaikat penjaganya.
Hari ini aku begitu bahagia, Tuhan
Wajahku berbinar melihat ia menatapku
Malaikat tersayangku akan membawaku pergi
ke sebuah tempat yang ia sebut
rumah....
            “Ini rumahmu, Anakku sayang! Tempat kau akan berteduh dan berkumpul bersama keluarga kita lainnya. Kau suka?” tanya Ibu paruh baya itu kepada anak semata wayangnya. Bayi yang digendongnya tersenyum penuh canda. Seraya berkata bahwa ia sangat menyukai rumah kecil itu. “Gilda, kau sudah pulang?” tanya seorang wanita tua renta yang sedang berjalan susah payah ke depan rumah. “Iya, Ibu. Gilda sudah pulang bersama Aimee, cucu Ibu!” jawab Ibu sang bayi kepada wanita tua yang tidak lain adalah ibu kandungnya.

13 tahun berlalu....
Hari-hari kulewati dengan bertabah dan bersabar. Bagaimana tidak? Aku tinggal terpisah dengan malaikat penjagaku. Malaikat yang telah berjanji tak akan melepas genggaman tanganku itu tak menepati janjinya. Dimana ia sekarang? Sudah jutaan kali aku menanyakannya, tetapi tak ada yang menjawab. Semua orang sudah membisu dan berpura-pura tuli setiap mendengar pertanyaan itu. Tetapi kesabaranku tiap hari makin terkikis. Aku bukan manusia sempurna, aku punya batas kesabaran. Masih lamakah penantianku selama 13 tahun? Sampai-sampai aku sudah lupa paras ibu kandungku sendiri.
“Aimee, kerjaanmu melamun terus, apakah kau tak bosan?” tanya Dira, sahabatku. Dira adalah satu-satunya sahabat terdekatku. Ia mempunyai mata yang indah, rambutnya selalu terurai panjang, dan setiap telinganya dihiasi anting mutiara berkilau. “Bagaimana kalau kita main saja?”, tanyanya sambil melirikku. Aku ingin menerima ajakannya, tetapi aku terlanjur terlena melihat pemandangan indah di depanku. “Tidak, aku masih ingin di sini. Kalau kau hendak pergi main, maka pergilah! Aku tak apa sendirian,” jawabku tanpa melihat wajahnya yang cantik. “Kau yakin tak mau ikut?” tanyanya padaku meyakinkan. “Ya,” jawabku sambil mengangguk. Dira pun beranjak pergi.
Pikiranku masih terpusat pada nasib hidupku sekarang. Kelas 2 SMP sudah aku sekarang. Di mana emosiku kian labil. Selama ini aku masih mencoba untuk bersabar dan bersabar. Rinduku pada ibuku semakin tak dapat terbendung. Sama seperti rasa rinduku pada Tuhan. Tetapi anehnya, setiap aku merindukan Tuhanku, rasa itu terobati saat aku melihat keindahan ciptaan-Nya yang lain. Seperti sekarang. Aku sedang berada di bawah pohon rindang di tengah hamparan sawah. Angin yang bertiup membuat tanaman padi itu bergoyang seperti ombak. Burung-burung masih nekad berlarian ke sana ke mari walau sudah terpasang orang-orangan sawah. Langit tak mendung hari ini. Sinar matahari yang menyengat menerobos dedaunan menyilaukanku. Takjub saatku melihat dan merasakan nuansa ciptaan Sang Khalik.
Setelah termenung beberapa saat, akal sehatku pulih. Ya, akal sehat, itu yang kuperlukan. Batas antara kecintaan yang luar biasa dan kebencian itu sangat tipis. Dipisahkan selaput yang sangat rapuh. Bagaimana jika aku membenci Ibuku? Yang selama ini meninggalkanku tanpa alasan yang jelas. Bagaimana jika aku membenci Tuhan? Yang telah memisahkanku dengan orang tersayangku. Maka dari itu, akal sehat menjadi obat manjur untuk menghapus pemikiran negatif seperti itu.
Aku pun berjalan sendirian menuju rumah mungilku. “Nek, Aimee sudah pulang!” sapaku pada wanita tua yang sedang berjalan ke arahku. “Oh, Aimee sudah pulang. Cepat masuk dan ganti baju!” suruh Nenek. Ia benar-benar Nenekku. Aku dititipkan Ibu kepada Nenek. Nenek memiliki hati yang sangat lembut seperti Ibu. Ia sering bekerja membuatkan pesanan makanan tetangga kami yang akan membuat hajatan. Tubuhnya yang renta tak dapat mengalahkan semangat juangnya mencari nafkah.
Aku masuk ke kamarku dan mengganti bajuku. Setelah itu, kuhempaskan tubuhku ke atas ranjangku. Aku sangat lelah sehingga tak sengaja terlelap. Saat aku terbangun, malam sudah menyambutku. Bulan bersinar begitu terang bersama para bintang langit. Tak kukira, kalau bulan hanya meminjam sinar matahari. Dan ternyata, para bintang langit, sudah lama mati. Angin malam tak kalah asyik menyambutku ketika aku membuka jendela kamar. Ini biasa aku lakukan, setiap malam malah. Kegiatan merenung kulanjutkan sambil melihat dua ciptaan Tuhan itu.

Keesokkan harinya, aku akan berangkat ke pasar seperti biasa. Sebelum berangkat sekolah, aku akan membeli keperluan pesanan pelanggan Nenek. Saat pagi buta, aku sudah sampai di pasar dekat rumah. Di sana sudah ramai orang berdesakan. Lebih ramai lagi kalau aku datang saat siang. Aku mengeluarkan daftar belanjaku dan mulai mencari bahan-bahan yang dikatakan Nenek. Berjalan ke sana ke mari tak membuatku lelah karena ini semua sudah menjadi kegiatan rutinku.
Setelah satu setengah jam bergulat di tengah keramaian, akhirnya aku selesai mendapatkan semua yang kubutuhkan. Aku berniat pulang ke rumah, saat tiba-tiba seorang bocah lelaki berlari dan menggapai dompetku. “Pencuri!” teriakku sambil berlari mengejarnya. Ia terus berlari tetapi aku tetap nekad mengikutinya. Sampai akhirnya, aku tiba di sebuah gudang tua. Seingatku, aku tak pernah melihat ada gudang ini sebelumnya. Aku intip anak laki-laki sebayaku itu dari balik pohon. Ia nampaknya masuk ke dalam gudang itu. Tak berapa lama kemudian aku melihatnya keluar. Wajahnya tiba-tiba murung. Aku masih mengikutinya. Saat kurasa aman, aku pun menegurnya. “Hei, kenapa kau ambil dompetku?” tanyaku mengagetkannya. Ia berbalik dan melemparkan dompetku. Dompetku masih utuh, tak sepeser pun uangku hilang. “Aku sudah tak membutuhkannya. Ini ambilah jika kau mau!” jawabnya ketus. Ia lalu berniat berjalan meninggalkanku. “Apa yang kamu lakukan di gudang tadi? Apa yang dapat kau beli di sana?” tanyaku tiba-tiba. “Tidak ada” jawabnya singkat.
Sejak saat itu, aku sering berjumpa dengannya di pasar. Dan dia selalu datang ke pasar untuk mencuri uang. “Kenapa kau mencuri? Tidak bisakah kau meminta jika memang kau sangat memerlukannya?” tanyaku padanya suatu saat. “Benar, aku ingin sekali meminta tetapi itu akan butuh waktu lama. Uang yang kubutuhkan besar tetapi waktuku terbatas” jawabnya padaku. Beberapa hari ini aku dekat dengannya. Aku kasihan padanya. Namanya Samudra. Ia tak punya orangtua ataupun tempat bergantung. Yang aneh untukku, ia tak pernah mau menjelaskan kenapa ia mencuri.

Pada suatu hari, aku bertengkar hebat dengan Nenek. Topik kami masih sama yaitu mengenai keberadaan ibuku. “Sudah berapa kali Nenek bilang, Nenek tidak tahu Ibumu di mana! Kalau kau begini terus, kasihan Ibumu! Apa kau tidak kasihan pada Ibumu saat ia mengetahui anaknya terus menanyai keberadaannya tiap hari? Ia melakukan ini juga karena ia sayang padamu, Aimee,” tegasnya. Bulir air mataku tak terbendung kala itu. Aku berlari, terus berlari. Sampai akhirnya aku bertemu dengan Samudra. Ia bertanya, “Kau kenapa?”. Aku tak menjawab. Bagaimana aku bisa menjawab jika aku terus terisak.
Setelah aku tenang, ia membawaku ke gudang. Gudang yang aku ketahui karena mengikutinya saat ia mencuri dompetku. Kami masuk ke dalam. Betapa terkejutnya aku. Banyak orang di dalam sana. Padahal dari luar terlihat sangat sepi. Tapi ada yang aneh, wajah mereka kosong. Mereka bertingkah bahagia tapi itu bohongan. Jarum suntik tergeletak di mana-mana. Apa yang terjadi dengan mereka? Aku masuk ke sebuah ruangan. Samudra mengambil beberapa kantung serbuk putih. Seperti tepung. Hanya lebih kasar teksturnya.
“ Hiruplah! Kau akan merasa baikan setelahnya!” suruhnya padaku. Karena pikiranku masih kacau saat itu, kulakukan perintahnya. Sedikit sakit awalnya karena aku belum terbiasa. Aneh. Aku merasa tubuhku mengambang. Bebas dan bahagia. Semakin kuhirup semakin tenang rasanya. Membuatku ingin menghirupnya lagi dan lagi. Kesadaranku hilang. Aku terbawa alam bawah sadarku ke dalam mimpi. Tapi ragaku menolak dan bergerak energik. Walau aku lelah, ragaku tetap bergerak-gerak tak jelas. Aku melompat-lompat, berputar-putar, dan tiba-tiba berlari.
Namun aku baru menyadari saatku sadar, tubuhku luka sana sini. Aku terpaksa berbohong pada Nenek kalau aku terjatuh. Sakit sekali rasanya tubuhku. Keesokkan harinya, aku merasa harus mendapatkan benda serbuk itu. Aku berlari ke pasar dan bertemu Samudra. “Harus ada ongkosnya!” katanya padaku. Aku mengangguk pertanda aku mengerti. Hari itu, aku berkelit pada Nenek, kalau dompetku dicuri sehingga aku kehilangan uang yang diberikannya. Untung saja, Nenek memaafkanku. Tapi bagaimana dengan besok dan besoknya lagi? Uang dari mana?
Kian hari tubuhku makin mengurus, wajahku semakin pucat. Wajah mudaku berubah tua. Dira sampai kebingungan melihatku. Ia sangat khawatir melihat keadaanku. Tanganku patah. Aku sendiri lupa kenapa. Sabu-sabu, itulah yang membuatku jadi seperti ini. Aku sekarang tahu Samudra begitu licik. Aku juga tahu kenapa ia mencuri sekarang. Semakin benci saja, saat aku ingat ia memanfaatkanku saat mentalku turun. Saat aku sedang bersedih dulu.  

Menyengsarakan
Pagi ini tak ada uang
aku terkunci sendiri di kamar
aku berusaha lepas dari ego pecanduku
Pagi ini, aku mengurung diri. Mencoba meninggalkan sabu-sabu. Namun aku salah, tidak segampang itu. Tubuhku mulai menggigil. Semakin menggigil saat kurasa aku butuh serbuk putih itu. Aku kesetanan mencari barang haram itu ke mana-mana. Akalku hilang. Berharap ada orang yang akan memberikannya sekarang juga. Tapi tak ada satu orang pun yang tahu. Bahkan Nenekku sendiri.
Tanpa aku sadari, aku menggigiti tubuhku sendiri. Darahku keluar memancar. Aku hisap dan aku telan. Rasanya sama seperti saatku menggunakan obat terlarang lainnya. Egoku berkata bahwa semua yang kulakukan masih kurang. Aku meronta-ronta. Berlari-lari di ruang kecil itu. Menggedor-gedor meja belajarku dan membanting semua benda di atasnya.
Nenek yang mendengarku, ketakutan. Beberapa pemuda ia panggil untuk mendobrak pintu kamarku. Mereka masuk tepat saat aku akan melakukan hal gila lainnya. Aku sedang berusaha  menggores nadiku dengan penggaris besi. Namun, tiba-tiba aku tak sadar. Aku kelelahan dan aku tidak sadarkan diri. Kepalaku semakin berat. Semua tubuhku luka. Aku mendzalimi diriku sendiri. Menganiaya.
Tuhan,
Aku berbuat kesalahan besar
Hidupku baik-baik saja sebelum aku berego
Masih adakah maaf untukku?
Atau pintu Nirwana sudah tertutup untukku?
Perlahan kubuka mataku. Berat rasanya melihat wajah wanita tua itu. “Maaf,” hanya kata itu yang terlontar dari bibirku. Nenek menangis dalam diam. Di hatinya pasti sangat kasihan melihatku sekarang. Aku yakin ia sudah tahu apa yang terjadi denganku. Aku tersenyum dengan sisa tenagaku. Bahagia melihat wajahnya juga tersenyum. Tubuhku makin ringkih. Sekarang aku benar-benar seperti mayat hidup.

1 tahun kemudian, gudang itu sudah digusur. Gudang haram itu punya lebih banyak korban sepertiku. Nenek setia membantu masa rehabilitasiku. Setiap bulan, kami pergi bersama. Sekiranya jalan-jalan keluarga. Aku berusaha hidup normal dengan keadaanku sekarang. Dira tetap sahabatku sampai sekarang.
“Apakah kau benar-benar ingin bertemu Ibumu?” tanya Nenek mengejutkanku. “Sangat ingin, Nek! Sudah lama aku menginginkannya!” jawabku pasti. Ia tersenyum dan berkata, “Kalau begitu, kita ke sana sekarang!”. Sontak aku kaget. Benarkah? Apa aku tak salah dengar? Aku berteriak kegirangan. Nenek hanya tersenyum tapi itu bukan senyumannya yang biasa, itu senyum keraguan.
Aku dan Nenek menaikki kendaraan umum menuju selatan. Lalu kami menumpang sebuah mobil kecil menuju tempat Ibu. Seperti apakah Ibuku itu? Tanyaku tak henti-henti. Mataku terbelalak saatku membaca papan depan daerah terpencil itu. “Desa Penderita Kusta atau Lepra”, sakit rasanya membaca tulisan itu. Inikah sebab ia pergi? Aku bahkan tak tahu tentang ini semua.
Kami masuk ke salah satu rumah. Aku kenal wajah itu. Parasnya cantik tetapi tubuhnya sudah tak utuh lagi. Aku berlari memeluknya saat Nenek memastikan kalau itu ibuku. Aku dapat merasakan air mata Ibu jatuh. Aku rindu bau tubuh ini. Aku belai rambutnya. Ia menangis sedih karena tak dapat membelai rambutku. Tangan dan kakinya sudah rontok separuh. Aku sekarang tahu sebabnya meninggalkanku. Ini semua bukan kemauannya.
Beberapa lama kemudian, seorang pria juga ikut keluar. Kondisinya tak jauh berbeda. Ayah. Itu dia ayahku. Aku tak tahu ia masih hidup. Orang-orang bilang ia sudah meninggal saat aku masih kecil. Aku pun berlari ke arahnya. Memeluknya seperti telah bertemu harta karun terbesar di dunia ini. Ya Tuhan, mereka begitu tegar. Salahku tak menyadari mereka begitu menyayangiku. Mereka tak ingin aku seperti mereka.
Itu hari terbaik dalam hidupku. Hari di mana keluargaku benar-benar berkumpul. Di mataku mereka sempurna. Tak ada yang kurang dalam diri mereka. Aku benar-benar terpesona.

Tuhan benar-benar mengajariku
apa itu kesempurnaan sejati
Pengorbanan adalah salah satu hal sempurna
di antara milyaran syarat untuk menjadi sempurna
Nirwana tetap kurindukan sampai saat ini
tapi ‘maaf’ adalah kata yang paling mujarab
untuk menyadarkanku akan sempurnanya Tuhan


Alhamdulilah akhirnya selesai juga... Gimana menurut readers karya Nana... Hihihihi,... masih belepotan yah? Maaf deh, Nana kan masih belajar ,,,, Sebenarnya Nana ngikutin karya ini buat ikut Lomba menulis cerita remaja... tapi belum dapat menjadi juara,.. karya anak-anak Indonesia baguuuuuuuuuuuuusss semuanya sih,,,, hehehehhehe :D tapi Nana tetep harus berjuang menjadikannya pembelajaran baru !! Yuhuuuu..... Give a comment, please!