MAAF
Tuhan,
Inikah malaikat yang kau ceritakan
padaku?
Saat aku masih bisa bercengkerama
denganMu di Nirwana?
Kau benar, ia makhluk ciptaanMu
yang indah
Aku tak tahu Kau bentuk hatinya
dari apa
Apakah dari permata Eden?
Kenapa
begitu menyamankanku berada di dekatnya?
Seorang malaikat mungil dikirimkan
Tuhan ke dunia. Makhluk tak berlumur dosa itu menangis. Mungkin karna ia tak akan
melihat Tuhannya lagi di dunia. Ibunya tersenyum getir melihat tubuh mungil
bayinya tak berhenti menggeliat. Lelah. Itulah yang dirasakan ibu baru itu.
Malaikat mungilnya begitu sempurna,
kesepuluh jarinya meraba-raba mencari sang malaikat penjaga. Ibu. Disambutnya
anak kesayangannya dengan lembut. Membelainya penuh kasih sayang. Tapi ia bersedih
saat ia menyadari, ia bersalah karena berani mengundang malaikat mungilnya itu
turun ke bumi. Ia termenung sambil memerhatikan lekuk tubuh bayinya. “Dunia ini
kejam, mungkinkah kau kan bertahan? Anakku sayang, jangan pernah tinggalkan
Ibumu ini! Seberapa pun besar badai menerjang, jangan pernah lepaskan tangan
sucimu ini dari Ibu. Ibu akan meminta Tuhan menjaga kita!” pikirnya dalam hati.
Sementara, buah hatinya perlahan mulai terlelap dalam dunia mimpi, berharap
berjumpa dengan Sang Khalik. Memberitahukan-Nya kalau ia sudah bertemu malaikat
penjaganya.
Hari ini aku begitu
bahagia, Tuhan
Wajahku berbinar
melihat ia menatapku
Malaikat tersayangku
akan membawaku pergi
ke sebuah tempat yang
ia sebut
rumah....
“Ini
rumahmu, Anakku sayang! Tempat kau akan berteduh dan berkumpul bersama keluarga
kita lainnya. Kau suka?” tanya Ibu paruh baya itu kepada anak semata wayangnya.
Bayi yang digendongnya tersenyum penuh canda. Seraya berkata bahwa ia sangat
menyukai rumah kecil itu. “Gilda, kau sudah pulang?” tanya seorang wanita tua
renta yang sedang berjalan susah payah ke depan rumah. “Iya, Ibu. Gilda sudah
pulang bersama Aimee, cucu Ibu!” jawab Ibu sang bayi kepada wanita tua yang
tidak lain adalah ibu kandungnya.
13
tahun berlalu....
Hari-hari
kulewati dengan bertabah dan bersabar. Bagaimana tidak? Aku tinggal terpisah
dengan malaikat penjagaku. Malaikat yang telah berjanji tak akan melepas
genggaman tanganku itu tak menepati janjinya. Dimana ia sekarang? Sudah jutaan
kali aku menanyakannya, tetapi tak ada yang menjawab. Semua orang sudah membisu
dan berpura-pura tuli setiap mendengar pertanyaan itu. Tetapi kesabaranku tiap
hari makin terkikis. Aku bukan manusia sempurna, aku punya batas kesabaran.
Masih lamakah penantianku selama 13 tahun? Sampai-sampai aku sudah lupa paras
ibu kandungku sendiri.
“Aimee,
kerjaanmu melamun terus, apakah kau tak bosan?” tanya Dira, sahabatku. Dira
adalah satu-satunya sahabat terdekatku. Ia mempunyai mata yang indah, rambutnya
selalu terurai panjang, dan setiap telinganya dihiasi anting mutiara berkilau.
“Bagaimana kalau kita main saja?”, tanyanya sambil melirikku. Aku ingin
menerima ajakannya, tetapi aku terlanjur terlena melihat pemandangan indah di
depanku. “Tidak, aku masih ingin di sini. Kalau kau hendak pergi main, maka
pergilah! Aku tak apa sendirian,” jawabku tanpa melihat wajahnya yang cantik.
“Kau yakin tak mau ikut?” tanyanya padaku meyakinkan. “Ya,” jawabku sambil
mengangguk. Dira pun beranjak pergi.
Pikiranku
masih terpusat pada nasib hidupku sekarang. Kelas 2 SMP sudah aku sekarang. Di
mana emosiku kian labil. Selama ini aku masih mencoba untuk bersabar dan
bersabar. Rinduku pada ibuku semakin tak dapat terbendung. Sama seperti rasa
rinduku pada Tuhan. Tetapi anehnya, setiap aku merindukan Tuhanku, rasa itu
terobati saat aku melihat keindahan ciptaan-Nya yang lain. Seperti sekarang.
Aku sedang berada di bawah pohon rindang di tengah hamparan sawah. Angin yang
bertiup membuat tanaman padi itu bergoyang seperti ombak. Burung-burung masih
nekad berlarian ke sana ke mari walau sudah terpasang orang-orangan sawah. Langit
tak mendung hari ini. Sinar matahari yang menyengat menerobos dedaunan
menyilaukanku. Takjub saatku melihat dan merasakan nuansa ciptaan Sang Khalik.
Setelah
termenung beberapa saat, akal sehatku pulih. Ya, akal sehat, itu yang
kuperlukan. Batas antara kecintaan yang luar biasa dan kebencian itu sangat
tipis. Dipisahkan selaput yang sangat rapuh. Bagaimana jika aku membenci Ibuku?
Yang selama ini meninggalkanku tanpa alasan yang jelas. Bagaimana jika aku
membenci Tuhan? Yang telah memisahkanku dengan orang tersayangku. Maka dari
itu, akal sehat menjadi obat manjur untuk menghapus pemikiran negatif seperti
itu.
Aku
pun berjalan sendirian menuju rumah mungilku. “Nek, Aimee sudah pulang!” sapaku
pada wanita tua yang sedang berjalan ke arahku. “Oh, Aimee sudah pulang. Cepat
masuk dan ganti baju!” suruh Nenek. Ia benar-benar Nenekku. Aku dititipkan Ibu
kepada Nenek. Nenek memiliki hati yang sangat lembut seperti Ibu. Ia sering
bekerja membuatkan pesanan makanan tetangga kami yang akan membuat hajatan.
Tubuhnya yang renta tak dapat mengalahkan semangat juangnya mencari nafkah.
Aku
masuk ke kamarku dan mengganti bajuku. Setelah itu, kuhempaskan tubuhku ke atas
ranjangku. Aku sangat lelah sehingga tak sengaja terlelap. Saat aku terbangun,
malam sudah menyambutku. Bulan bersinar begitu terang bersama para bintang
langit. Tak kukira, kalau bulan hanya meminjam sinar matahari. Dan ternyata,
para bintang langit, sudah lama mati. Angin malam tak kalah asyik menyambutku
ketika aku membuka jendela kamar. Ini biasa aku lakukan, setiap malam malah.
Kegiatan merenung kulanjutkan sambil melihat dua ciptaan Tuhan itu.
Keesokkan
harinya, aku akan berangkat ke pasar seperti biasa. Sebelum berangkat sekolah, aku
akan membeli keperluan pesanan pelanggan Nenek. Saat pagi buta, aku sudah
sampai di pasar dekat rumah. Di sana sudah ramai orang berdesakan. Lebih ramai
lagi kalau aku datang saat siang. Aku mengeluarkan daftar belanjaku dan mulai
mencari bahan-bahan yang dikatakan Nenek. Berjalan ke sana ke mari tak
membuatku lelah karena ini semua sudah menjadi kegiatan rutinku.
Setelah
satu setengah jam bergulat di tengah keramaian, akhirnya aku selesai
mendapatkan semua yang kubutuhkan. Aku berniat pulang ke rumah, saat tiba-tiba
seorang bocah lelaki berlari dan menggapai dompetku. “Pencuri!” teriakku sambil
berlari mengejarnya. Ia terus berlari tetapi aku tetap nekad mengikutinya.
Sampai akhirnya, aku tiba di sebuah gudang tua. Seingatku, aku tak pernah
melihat ada gudang ini sebelumnya. Aku intip anak laki-laki sebayaku itu dari
balik pohon. Ia nampaknya masuk ke dalam gudang itu. Tak berapa lama kemudian
aku melihatnya keluar. Wajahnya tiba-tiba murung. Aku masih mengikutinya. Saat
kurasa aman, aku pun menegurnya. “Hei, kenapa kau ambil dompetku?” tanyaku
mengagetkannya. Ia berbalik dan melemparkan dompetku. Dompetku masih utuh, tak
sepeser pun uangku hilang. “Aku sudah tak membutuhkannya. Ini ambilah jika kau
mau!” jawabnya ketus. Ia lalu berniat berjalan meninggalkanku. “Apa yang kamu
lakukan di gudang tadi? Apa yang dapat kau beli di sana?” tanyaku tiba-tiba.
“Tidak ada” jawabnya singkat.
Sejak saat itu, aku sering berjumpa
dengannya di pasar. Dan dia selalu datang ke pasar untuk mencuri uang. “Kenapa
kau mencuri? Tidak bisakah kau meminta jika memang kau sangat memerlukannya?”
tanyaku padanya suatu saat. “Benar, aku ingin sekali meminta tetapi itu akan
butuh waktu lama. Uang yang kubutuhkan besar tetapi waktuku terbatas” jawabnya
padaku. Beberapa hari ini aku dekat dengannya. Aku kasihan padanya. Namanya
Samudra. Ia tak punya orangtua ataupun tempat bergantung. Yang aneh untukku, ia
tak pernah mau menjelaskan kenapa ia mencuri.
Pada
suatu hari, aku bertengkar hebat dengan Nenek. Topik kami masih sama yaitu
mengenai keberadaan ibuku. “Sudah berapa kali Nenek bilang, Nenek tidak tahu
Ibumu di mana! Kalau kau begini terus, kasihan Ibumu! Apa kau tidak kasihan
pada Ibumu saat ia mengetahui anaknya terus menanyai keberadaannya tiap hari?
Ia melakukan ini juga karena ia sayang padamu, Aimee,” tegasnya. Bulir air
mataku tak terbendung kala itu. Aku berlari, terus berlari. Sampai akhirnya aku
bertemu dengan Samudra. Ia bertanya, “Kau kenapa?”. Aku tak menjawab. Bagaimana
aku bisa menjawab jika aku terus terisak.
Setelah
aku tenang, ia membawaku ke gudang. Gudang yang aku ketahui karena mengikutinya
saat ia mencuri dompetku. Kami masuk ke dalam. Betapa terkejutnya aku. Banyak
orang di dalam sana. Padahal dari luar terlihat sangat sepi. Tapi ada yang
aneh, wajah mereka kosong. Mereka bertingkah bahagia tapi itu bohongan. Jarum
suntik tergeletak di mana-mana. Apa yang terjadi dengan mereka? Aku masuk ke sebuah
ruangan. Samudra mengambil beberapa kantung serbuk putih. Seperti tepung. Hanya
lebih kasar teksturnya.
“
Hiruplah! Kau akan merasa baikan setelahnya!” suruhnya padaku. Karena pikiranku
masih kacau saat itu, kulakukan perintahnya. Sedikit sakit awalnya karena aku
belum terbiasa. Aneh. Aku merasa tubuhku mengambang. Bebas dan bahagia. Semakin
kuhirup semakin tenang rasanya. Membuatku ingin menghirupnya lagi dan lagi.
Kesadaranku hilang. Aku terbawa alam bawah sadarku ke dalam mimpi. Tapi ragaku
menolak dan bergerak energik. Walau aku lelah, ragaku tetap bergerak-gerak tak
jelas. Aku melompat-lompat, berputar-putar, dan tiba-tiba berlari.
Namun
aku baru menyadari saatku sadar, tubuhku luka sana sini. Aku terpaksa berbohong
pada Nenek kalau aku terjatuh. Sakit sekali rasanya tubuhku. Keesokkan harinya,
aku merasa harus mendapatkan benda serbuk itu. Aku berlari ke pasar dan bertemu
Samudra. “Harus ada ongkosnya!” katanya padaku. Aku mengangguk pertanda aku
mengerti. Hari itu, aku berkelit pada Nenek, kalau dompetku dicuri sehingga aku
kehilangan uang yang diberikannya. Untung saja, Nenek memaafkanku. Tapi
bagaimana dengan besok dan besoknya lagi? Uang dari mana?
Kian
hari tubuhku makin mengurus, wajahku semakin pucat. Wajah mudaku berubah tua.
Dira sampai kebingungan melihatku. Ia sangat khawatir melihat keadaanku.
Tanganku patah. Aku sendiri lupa kenapa. Sabu-sabu, itulah yang membuatku jadi
seperti ini. Aku sekarang tahu Samudra begitu licik. Aku juga tahu kenapa ia
mencuri sekarang. Semakin benci saja, saat aku ingat ia memanfaatkanku saat
mentalku turun. Saat aku sedang bersedih dulu.
Menyengsarakan
Pagi ini tak ada
uang
aku terkunci
sendiri di kamar
aku berusaha
lepas dari ego pecanduku
Pagi ini, aku mengurung diri. Mencoba
meninggalkan sabu-sabu. Namun aku salah, tidak segampang itu. Tubuhku mulai
menggigil. Semakin menggigil saat kurasa aku butuh serbuk putih itu. Aku
kesetanan mencari barang haram itu ke mana-mana. Akalku hilang. Berharap ada
orang yang akan memberikannya sekarang juga. Tapi tak ada satu orang pun yang
tahu. Bahkan Nenekku sendiri.
Tanpa aku sadari, aku menggigiti tubuhku
sendiri. Darahku keluar memancar. Aku hisap dan aku telan. Rasanya sama seperti
saatku menggunakan obat terlarang lainnya. Egoku berkata bahwa semua yang kulakukan
masih kurang. Aku meronta-ronta. Berlari-lari di ruang kecil itu.
Menggedor-gedor meja belajarku dan membanting semua benda di atasnya.
Nenek yang mendengarku, ketakutan.
Beberapa pemuda ia panggil untuk mendobrak pintu kamarku. Mereka masuk tepat saat
aku akan melakukan hal gila lainnya. Aku sedang berusaha menggores nadiku dengan penggaris besi.
Namun, tiba-tiba aku tak sadar. Aku kelelahan dan aku tidak sadarkan diri.
Kepalaku semakin berat. Semua tubuhku luka. Aku mendzalimi diriku sendiri.
Menganiaya.
Tuhan,
Aku
berbuat kesalahan besar
Hidupku
baik-baik saja sebelum aku berego
Masih
adakah maaf untukku?
Atau
pintu Nirwana sudah tertutup untukku?
Perlahan kubuka mataku. Berat rasanya
melihat wajah wanita tua itu. “Maaf,” hanya kata itu yang terlontar dari
bibirku. Nenek menangis dalam diam. Di hatinya pasti sangat kasihan melihatku
sekarang. Aku yakin ia sudah tahu apa yang terjadi denganku. Aku tersenyum
dengan sisa tenagaku. Bahagia melihat wajahnya juga tersenyum. Tubuhku makin
ringkih. Sekarang aku benar-benar seperti mayat hidup.
1 tahun kemudian, gudang itu sudah
digusur. Gudang haram itu punya lebih banyak korban sepertiku. Nenek setia
membantu masa rehabilitasiku. Setiap bulan, kami pergi bersama. Sekiranya
jalan-jalan keluarga. Aku berusaha hidup normal dengan keadaanku sekarang. Dira
tetap sahabatku sampai sekarang.
“Apakah kau benar-benar ingin bertemu Ibumu?”
tanya Nenek mengejutkanku. “Sangat ingin, Nek! Sudah lama aku menginginkannya!”
jawabku pasti. Ia tersenyum dan berkata, “Kalau begitu, kita ke sana
sekarang!”. Sontak aku kaget. Benarkah? Apa aku tak salah dengar? Aku berteriak
kegirangan. Nenek hanya tersenyum tapi itu bukan senyumannya yang biasa, itu
senyum keraguan.
Aku dan Nenek menaikki kendaraan umum
menuju selatan. Lalu kami menumpang sebuah mobil kecil menuju tempat Ibu.
Seperti apakah Ibuku itu? Tanyaku tak henti-henti. Mataku terbelalak saatku
membaca papan depan daerah terpencil itu. “Desa Penderita Kusta atau Lepra”,
sakit rasanya membaca tulisan itu. Inikah sebab ia pergi? Aku bahkan tak tahu
tentang ini semua.
Kami masuk ke salah satu rumah. Aku
kenal wajah itu. Parasnya cantik tetapi tubuhnya sudah tak utuh lagi. Aku
berlari memeluknya saat Nenek memastikan kalau itu ibuku. Aku dapat merasakan
air mata Ibu jatuh. Aku rindu bau tubuh ini. Aku belai rambutnya. Ia menangis
sedih karena tak dapat membelai rambutku. Tangan dan kakinya sudah rontok
separuh. Aku sekarang tahu sebabnya meninggalkanku. Ini semua bukan kemauannya.
Beberapa lama kemudian, seorang pria
juga ikut keluar. Kondisinya tak jauh berbeda. Ayah. Itu dia ayahku. Aku tak
tahu ia masih hidup. Orang-orang bilang ia sudah meninggal saat aku masih
kecil. Aku pun berlari ke arahnya. Memeluknya seperti telah bertemu harta karun
terbesar di dunia ini. Ya Tuhan, mereka begitu tegar. Salahku tak menyadari
mereka begitu menyayangiku. Mereka tak ingin aku seperti mereka.
Itu hari terbaik dalam hidupku. Hari di
mana keluargaku benar-benar berkumpul. Di mataku mereka sempurna. Tak ada yang
kurang dalam diri mereka. Aku benar-benar terpesona.
Tuhan
benar-benar mengajariku
apa
itu kesempurnaan sejati
Pengorbanan
adalah salah satu hal sempurna
di
antara milyaran syarat untuk menjadi sempurna
Nirwana
tetap kurindukan sampai saat ini
tapi
‘maaf’ adalah kata yang paling mujarab
untuk
menyadarkanku akan sempurnanya Tuhan
Alhamdulilah akhirnya selesai juga... Gimana menurut readers karya Nana... Hihihihi,... masih belepotan yah? Maaf deh, Nana kan masih belajar ,,,, Sebenarnya Nana ngikutin karya ini buat ikut Lomba menulis cerita remaja... tapi belum dapat menjadi juara,.. karya anak-anak Indonesia baguuuuuuuuuuuuusss semuanya sih,,,, hehehehhehe :D tapi Nana tetep harus berjuang menjadikannya pembelajaran baru !! Yuhuuuu..... Give a comment, please!